• Mengejar matahari terbit agar dapat menyaksikan lumba-lumba di laut lepas
  • Pantai ini telah diakui keindahannya oleh UNDP
  • DESKRIPSI GAMBAR 3
  • DESKRIPSI GAMBAR 4
Rabu, 04 April 2012

7 Permasalah Seputar Safar

Alhamdulillah, wa Shalaatu wa salaamu 'ala Rosulillah wa' ala aalihi wa shohbihi ajma'in .
Sebelumnya kita telah membahas beberapa kiat seputar safar (Tips Persiapan SafarTips Ketika Safar dan  Tips kembali dari Safar) dan terakhir kita telah mempelajari beberapa keringanan ketika safar . Saat ini kami akan melanjutkan dengan pembahasan beberapa permasalahan seputar safar. Semoga bermanfaat.
Masalah 1: Berapa Jarak yang Sudah Dikatakan bersafar?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan mengqoshor shalat adalah 48 mil (85 km). Sebagian lainnya berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat adalah ketika menempuh perjalanan tiga hari tiga malam dengan menggunakan unta.
Namun pendapat yang tepat dalam masalah ini, tidak ada batasan tertentu untuk jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat. Seseorang bisa mengqoshor shalat selama jarak tersebut sudah dikatakan safar, entah jarak tersebut dekat atau pun jauh (meskipun hanya 60 km). Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri tidak memberikan batasan dalam hal ini. Begitu pula secara bahasa, tidak disebutkan pula batasannya. Sehingga yang dijadikan patokan adalah ' urf atau kebiasaan masyarakat setempat. Jika di masyarakat menganggap bahwa perjalanan dari kota A ke kota B sudah disebut safar, maka bisa di sana seseorang mengqoshor shalat dan bisa baginya mengambil keringanan safar lainnya. Atau yang bisa jadi patokan juga adalah jika butuh perbekalan ketika melakukan perjalanan. Inilah pendapat yang dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama Zhohiriyah. [1]
Masalah 2: Kapan Waktu dibolehkan Mengqoshor Shalat?
Para ulama sepakat, musafir baru boleh mengqoshor shalat setelah ia berpisah dari negerinya. Namun bisakah ketika sudah berniat safar dan masih di rumah atau di negerinya, ia sudah mengqoshor shalat? Jawabannya, tidak bisa. Ia masih harus menunaikan shalat secara sempurna (tanpa mengqoshor). Ketika ia sudah berpisah dari negerinya, baru ia mulai bisa mengqoshor shalat. Demikianlah pendapat yang lebih tepat. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik, ia berkata,
صليت الظهر مع النبى - صلى الله عليه وسلم - بالمدينة أربعا, وبذى الحليفة ركعتين
Aku pernah shalat Zhuhur bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah (masih belum bersafar, pen) sebanyak empat raka'at. Dan ketika di Dzulhulaifah, dikerjakan sebanyak dua rakaat. " [2]
Masalah 3: Lama Waktu Seseorang Bisa Mengqoshor Shalat
Seorang musafir boleh mengqoshor shalat selama dia berada di perjalanan. Namun jika dia sudah sampai di negeri yang dia tuju dan tinggal beberapa hari di sana, berapa lama waktu dia masih diperbolehkan mengqoshor shalat?
Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika berniat untuk bermukim lebih dari 4 hari, maka tidak bisa mengqoshor shalat. Ulama lainnya mengatakan bahwa jika berniat mukim 15 hari, maka tidak bisa mengqoshor shalat. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa selama 20 hari bisa mengqoshor shalat, namun jika lebih dari itu tidak diperbolehkan lagi.
Ada pula pendapat lainnya sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu musafir boleh mengqoshor shalat terus menerus selama dia berniat untuk tidak menetap, meskipun itu lebih dari 4, 15 atau 20 hari. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat. Jadi, safar sebenarnya tidak terkait dengan waktu tertentu. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengqoshor shalat selama 18, 19, atau 20 hari, itu semua dilakukan karena beliau adalah seorang musafir.
Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal permanen (seperti seorang pelajar yang merantau ke negeri orang dan menetap beberapa tahun di sana), maka kondisi seperti ini sudah disebut mukim dan tidaklah disebut musafir. [3]
Masalah 4: Apakah bersafar harus Menjamak Shalat?
Asalnya, bisa saja untuk musafir untuk menjamak shalat Zhuhur dan Ashar, atau Maghrib dan Isya '. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu , ia berkata,
كان النبى - صلى الله عليه وسلم - يجمع بين صلاة المغرب والعشاء فى السفر
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa menjama' shalat Maghrib dan Isya 'ketika safar" [4]
Namun mestikah setiap bersafar harus dilakukan jamak qoshor (menggabung antara jamak dan qoshor) atau cukup qoshor saja? Sebagaimana yang telah diketahui bahwa yang diwajibkan pada musafir adalah mengqoshor shalat.
Perlu diketahui bahwa musafir itu ada dua macam. Ada musafir saa-ir yaitu yang berada dalam perjalanan dan ada musafirnaazil yaitu musafir yang sudah sampai ke negeri yang ia tuju atau sedang singgah di suatu tempat di tengah-tengah safar selama beberapa lama.
Menjama 'shalat yaitu menjamak shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya' bisa dilakukan oleh musafir saa-ir maupun musafir naazil . Namun yang paling afdhol (paling utama) untuk bepergian naazil adalah tidak menjamak shalat. Musafir naazildiperbolehkan untuk menjamak shalat jika memang dia merasa kesulitan mengerjakan shalat di masing-masing waktu atau dia memang butuh istirahat sehingga harus menjamak. Adapun untuk bepergian saa-ir , yang paling afdhol baginya adalah menjamak shalat, bisa dengan jamak taqdim (menggabung dua shalat di waktu awal) atau jamak takhir (menggabung dua shalat di waktu akhir), terserah mana yang paling mudah baginya. [5]
Masalah 5: Tetap Shalat Berjama'ah Ketika bersafar
Perlu diketahui, menurut pendapat yang paling kuat di antara para ulama, hukum shalat jama'ah adalah wajib bagi kaum pria.Imam Asy Syafi'i mengatakan, " Adapun shalat jama'ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur . " [6]
Syaikh 'Abdul Aziz bin' Abdillah bin Baz mengatakan, "Bila musafir berada di perjalanan, maka tidak mengapa dia shalat sendirian. Adapun jika telah sampai negeri tujuan, maka janganlah dia shalat sendiri. Akan tetapi hendaknya dia shalat secara berjama'ah bersama jama'ah di negeri tersebut, kemudian dia menyempurnakan raka'atnya (tidak mengqoshor). Adapun jika dia melakukan perjalanan sendirian dan telah masuk waktu shalat, maka tidak mengapa dia shalat sendirian saat itu dan dia mengqoshor shalat yang empat raka'at (seperti shalat Zhuhur) menjadi dua raka'at. " [7]
Masalah 6: bermakmum di Belakang Imam Mukim
Ketika seorang musafir bermakmum di belakang imam mukim (tidak bersafar atau menetap), maka dia tidak mengqoshor shalatnya. Namun dia harus mengikuti imam yaitu mengerjakan shalat dengan sempurna (tanpa diqoshor).
Dari Musa bin Salamah, beliau mengatakan,
كنا مع ابن عباس بمكة فقلت إنا إذا كنا معكم صلينا أربعا وإذا رجعنا إلى رحالنا صلينا ركعتين قال تلك سنة أبى القاسم - صلى الله عليه وسلم -.
Kami pernah bersama Ibnu 'Abbas di Makkah. Kemudian Musa mengatakan, "Mengapa jika kami (musafir) shalat di belakang kalian (yang bukan musafir) tetap melaksanakan shalat empat raka'at (tanpa diqoshor) amun ketika kamibersafar, kami melaksanakan shalat dua raka'at (dengan diqoshor)? "Ibnu 'Abbas pun menjawab," Inilah yang diajarkan oleh Abul Qosim (Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam). " [8]
Masalah 7: Shalat Di Atas Kendaraan Ketika bersafar
Untuk melaksanakan shalat sunnah, bisa dilakukan di atas kendaraan dan sangat baik jika awalnya menghadap kiblat meskipun setelah itu arahnya berubah [9] . Namun untuk melaksanakan shalat fardhu, hendaknya turun dari kendaraan.
Dari Jabir bin 'Abdillah, beliau mengatakan,
كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يصلى على راحلته حيث توجهت, فإذا أراد الفريضة نزل فاستقبل القبلة
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap kiblat. " [10]
Akan tetapi jika seseorang berada di mobil, pesawat, kereta api atau kendaraan lainnya, lalu musafir tersebut tidak mampu melaksanakan shalat dengan menghadap kiblat dan tidak mampu berdiri, maka dia bisa melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraannya dengan dua kondisi,
  1. Khawatir akan keluar waktu shalat sebelum sampai di tempat tujuan. Namun jika bisa turun dari kendaraan sebelum keluar waktu shalat, maka lebih baik menunggu. Kemudian jika sudah turun, dia langsung mengerjakan shalat fardhu.
  2. Jika tidak mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat. Namun jika mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat fardhu, maka wajib melaksanakan shalat fardhu dengan kondisi turun dari kendaraan.
Jika memang kedua Persyaratan ini terpenuhi, bisa seorang musafir melaksanakan shalat di atas kendaraan. [11] Sehingga dari sini tidak alasan sekali seorang musafir tidak melaksanakan shalat selama ia di perjalanan. Hal meninggalkan shalat bukan hal sepele. Meninggalkanya termasuk dosa besar. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan murka Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat. " [12]
Demikian beberapa pembahasan kami mengenai tips-tips safar dan mudik lebaran. Semoga Allah menjadi mudik kita menjadi lebih berkah dengan mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Direvisi ulang di Panggang, Gunung Kidul, 13 Ramadhan 1430 H (23 Agustus 2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/479-481.
[2] HR. Bukhari no. 1089.
[3] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/482-487
[4] HR. Bukhari no. 1108.
[5] Lihat Fatawa Al Islam Su-al wa jawaab no. 49885 pada link http://islamqa.com/ar/ref/49885 , di dalamnya terdapat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin yang sangat bermanfaat.
[6] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir, hal. 107
[7] Majmu 'Fatawa Ibnu Baz, Mawqi' Al Ifta ', 12/243.
[8] HR. Ahmad 1/216. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[9] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/306
[10] HR. Bukhari no. 400
[11] Lihat pembahasan shalat di mobil dan pesawat di Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no. 21869 pada linkhttp://www.islamqa.com/ar/ref/21869
[12] Ash Sholah, hal. 7.
Alhamdulillah, wa Shalaatu wa salaamu 'ala Rosulillah wa' ala aalihi wa shohbihi ajma'in .
Sebelumnya kita telah membahas beberapa kiat seputar safar (Tips Persiapan SafarTips Ketika Safar dan  Tips kembali dari Safar) dan terakhir kita telah mempelajari beberapa keringanan ketika safar . Saat ini kami akan melanjutkan dengan pembahasan beberapa permasalahan seputar safar. Semoga bermanfaat.
Masalah 1: Berapa Jarak yang Sudah Dikatakan bersafar?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan mengqoshor shalat adalah 48 mil (85 km). Sebagian lainnya berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat adalah ketika menempuh perjalanan tiga hari tiga malam dengan menggunakan unta.
Namun pendapat yang tepat dalam masalah ini, tidak ada batasan tertentu untuk jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat. Seseorang bisa mengqoshor shalat selama jarak tersebut sudah dikatakan safar, entah jarak tersebut dekat atau pun jauh (meskipun hanya 60 km). Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri tidak memberikan batasan dalam hal ini. Begitu pula secara bahasa, tidak disebutkan pula batasannya. Sehingga yang dijadikan patokan adalah ' urf atau kebiasaan masyarakat setempat. Jika di masyarakat menganggap bahwa perjalanan dari kota A ke kota B sudah disebut safar, maka bisa di sana seseorang mengqoshor shalat dan bisa baginya mengambil keringanan safar lainnya. Atau yang bisa jadi patokan juga adalah jika butuh perbekalan ketika melakukan perjalanan. Inilah pendapat yang dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama Zhohiriyah. [1]
Masalah 2: Kapan Waktu dibolehkan Mengqoshor Shalat?
Para ulama sepakat, musafir baru boleh mengqoshor shalat setelah ia berpisah dari negerinya. Namun bisakah ketika sudah berniat safar dan masih di rumah atau di negerinya, ia sudah mengqoshor shalat? Jawabannya, tidak bisa. Ia masih harus menunaikan shalat secara sempurna (tanpa mengqoshor). Ketika ia sudah berpisah dari negerinya, baru ia mulai bisa mengqoshor shalat. Demikianlah pendapat yang lebih tepat. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik, ia berkata,
صليت الظهر مع النبى - صلى الله عليه وسلم - بالمدينة أربعا, وبذى الحليفة ركعتين
Aku pernah shalat Zhuhur bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah (masih belum bersafar, pen) sebanyak empat raka'at. Dan ketika di Dzulhulaifah, dikerjakan sebanyak dua rakaat. " [2]
Masalah 3: Lama Waktu Seseorang Bisa Mengqoshor Shalat
Seorang musafir boleh mengqoshor shalat selama dia berada di perjalanan. Namun jika dia sudah sampai di negeri yang dia tuju dan tinggal beberapa hari di sana, berapa lama waktu dia masih diperbolehkan mengqoshor shalat?
Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika berniat untuk bermukim lebih dari 4 hari, maka tidak bisa mengqoshor shalat. Ulama lainnya mengatakan bahwa jika berniat mukim 15 hari, maka tidak bisa mengqoshor shalat. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa selama 20 hari bisa mengqoshor shalat, namun jika lebih dari itu tidak diperbolehkan lagi.
Ada pula pendapat lainnya sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu musafir boleh mengqoshor shalat terus menerus selama dia berniat untuk tidak menetap, meskipun itu lebih dari 4, 15 atau 20 hari. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat. Jadi, safar sebenarnya tidak terkait dengan waktu tertentu. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengqoshor shalat selama 18, 19, atau 20 hari, itu semua dilakukan karena beliau adalah seorang musafir.
Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal permanen (seperti seorang pelajar yang merantau ke negeri orang dan menetap beberapa tahun di sana), maka kondisi seperti ini sudah disebut mukim dan tidaklah disebut musafir. [3]
Masalah 4: Apakah bersafar harus Menjamak Shalat?
Asalnya, bisa saja untuk musafir untuk menjamak shalat Zhuhur dan Ashar, atau Maghrib dan Isya '. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu , ia berkata,
كان النبى - صلى الله عليه وسلم - يجمع بين صلاة المغرب والعشاء فى السفر
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa menjama' shalat Maghrib dan Isya 'ketika safar" [4]
Namun mestikah setiap bersafar harus dilakukan jamak qoshor (menggabung antara jamak dan qoshor) atau cukup qoshor saja? Sebagaimana yang telah diketahui bahwa yang diwajibkan pada musafir adalah mengqoshor shalat.
Perlu diketahui bahwa musafir itu ada dua macam. Ada musafir saa-ir yaitu yang berada dalam perjalanan dan ada musafirnaazil yaitu musafir yang sudah sampai ke negeri yang ia tuju atau sedang singgah di suatu tempat di tengah-tengah safar selama beberapa lama.
Menjama 'shalat yaitu menjamak shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya' bisa dilakukan oleh musafir saa-ir maupun musafir naazil . Namun yang paling afdhol (paling utama) untuk bepergian naazil adalah tidak menjamak shalat. Musafir naazildiperbolehkan untuk menjamak shalat jika memang dia merasa kesulitan mengerjakan shalat di masing-masing waktu atau dia memang butuh istirahat sehingga harus menjamak. Adapun untuk bepergian saa-ir , yang paling afdhol baginya adalah menjamak shalat, bisa dengan jamak taqdim (menggabung dua shalat di waktu awal) atau jamak takhir (menggabung dua shalat di waktu akhir), terserah mana yang paling mudah baginya. [5]
Masalah 5: Tetap Shalat Berjama'ah Ketika bersafar
Perlu diketahui, menurut pendapat yang paling kuat di antara para ulama, hukum shalat jama'ah adalah wajib bagi kaum pria.Imam Asy Syafi'i mengatakan, " Adapun shalat jama'ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur . " [6]
Syaikh 'Abdul Aziz bin' Abdillah bin Baz mengatakan, "Bila musafir berada di perjalanan, maka tidak mengapa dia shalat sendirian. Adapun jika telah sampai negeri tujuan, maka janganlah dia shalat sendiri. Akan tetapi hendaknya dia shalat secara berjama'ah bersama jama'ah di negeri tersebut, kemudian dia menyempurnakan raka'atnya (tidak mengqoshor). Adapun jika dia melakukan perjalanan sendirian dan telah masuk waktu shalat, maka tidak mengapa dia shalat sendirian saat itu dan dia mengqoshor shalat yang empat raka'at (seperti shalat Zhuhur) menjadi dua raka'at. " [7]
Masalah 6: bermakmum di Belakang Imam Mukim
Ketika seorang musafir bermakmum di belakang imam mukim (tidak bersafar atau menetap), maka dia tidak mengqoshor shalatnya. Namun dia harus mengikuti imam yaitu mengerjakan shalat dengan sempurna (tanpa diqoshor).
Dari Musa bin Salamah, beliau mengatakan,
كنا مع ابن عباس بمكة فقلت إنا إذا كنا معكم صلينا أربعا وإذا رجعنا إلى رحالنا صلينا ركعتين قال تلك سنة أبى القاسم - صلى الله عليه وسلم -.
Kami pernah bersama Ibnu 'Abbas di Makkah. Kemudian Musa mengatakan, "Mengapa jika kami (musafir) shalat di belakang kalian (yang bukan musafir) tetap melaksanakan shalat empat raka'at (tanpa diqoshor) amun ketika kamibersafar, kami melaksanakan shalat dua raka'at (dengan diqoshor)? "Ibnu 'Abbas pun menjawab," Inilah yang diajarkan oleh Abul Qosim (Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam). " [8]
Masalah 7: Shalat Di Atas Kendaraan Ketika bersafar
Untuk melaksanakan shalat sunnah, bisa dilakukan di atas kendaraan dan sangat baik jika awalnya menghadap kiblat meskipun setelah itu arahnya berubah [9] . Namun untuk melaksanakan shalat fardhu, hendaknya turun dari kendaraan.
Dari Jabir bin 'Abdillah, beliau mengatakan,
كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يصلى على راحلته حيث توجهت, فإذا أراد الفريضة نزل فاستقبل القبلة
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap kiblat. " [10]
Akan tetapi jika seseorang berada di mobil, pesawat, kereta api atau kendaraan lainnya, lalu musafir tersebut tidak mampu melaksanakan shalat dengan menghadap kiblat dan tidak mampu berdiri, maka dia bisa melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraannya dengan dua kondisi,
  1. Khawatir akan keluar waktu shalat sebelum sampai di tempat tujuan. Namun jika bisa turun dari kendaraan sebelum keluar waktu shalat, maka lebih baik menunggu. Kemudian jika sudah turun, dia langsung mengerjakan shalat fardhu.
  2. Jika tidak mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat. Namun jika mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat fardhu, maka wajib melaksanakan shalat fardhu dengan kondisi turun dari kendaraan.
Jika memang kedua Persyaratan ini terpenuhi, bisa seorang musafir melaksanakan shalat di atas kendaraan. [11] Sehingga dari sini tidak alasan sekali seorang musafir tidak melaksanakan shalat selama ia di perjalanan. Hal meninggalkan shalat bukan hal sepele. Meninggalkanya termasuk dosa besar. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan murka Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat. " [12]
Demikian beberapa pembahasan kami mengenai tips-tips safar dan mudik lebaran. Semoga Allah menjadi mudik kita menjadi lebih berkah dengan mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Direvisi ulang di Panggang, Gunung Kidul, 13 Ramadhan 1430 H (23 Agustus 2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/479-481.
[2] HR. Bukhari no. 1089.
[3] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/482-487
[4] HR. Bukhari no. 1108.
[5] Lihat Fatawa Al Islam Su-al wa jawaab no. 49885 pada link http://islamqa.com/ar/ref/49885 , di dalamnya terdapat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin yang sangat bermanfaat.
[6] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir, hal. 107
[7] Majmu 'Fatawa Ibnu Baz, Mawqi' Al Ifta ', 12/243.
[8] HR. Ahmad 1/216. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[9] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/306
[10] HR. Bukhari no. 400
[11] Lihat pembahasan shalat di mobil dan pesawat di Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no. 21869 pada linkhttp://www.islamqa.com/ar/ref/21869
[12] Ash Sholah, hal. 7.
Jika berkenan, mohon bantuannya untuk memberi vote Google + untuk halaman ini dengan cara mengklik tombol G+ di samping. Jika akun Google anda sedang login, hanya dengan sekali klik voting sudah selesai. Terima kasih atas bantuannya.
Judul: 7 Permasalah Seputar Safar; Ditulis oleh Unknown; Rating Blog: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template oleh Blog SEO Ricky - Support eva fashion store